Naskah
Drama Malin Kundang versi baru
Di sebuah desa di
pinggiran kota Padang, terdapat sebuah keluarga sederhana. Seorang wanita muda
dengan anaknya Malin Kundang. Walaupun hidup sederhana, tetapi mereka tak
pernah mengeluh.
Ibu : “Hadeeh...laper!!. Cari Malinlah, biar ku suruh
dia membeli sesuatu.
Malin... Where are you?”
Malin : “I am here, mom.”
Ibu : “Dari mana kau nak?”
Malin : “Cari keong di pantai, ada apa Bundo?”
Ibu
: “Belikan Bundo dulu ayam penyet tempat Pak Adi
sekalian es koldingnya
tempat mbak Uni.”
Malin
: “Jauhnya, di ADS aja ya, sekalian naik angkot. Uangnya?”
Ibu
: “Pakai uangmu dulu, uang Bundo di ATM, belum di
ambil.”
Malin
: “Iya...iya..!!”
Malin pun pergi membeli pesanan ibunya. Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya
dia memikirkan keinginannya, di tambah lagi tekadnya yang sudah bulat,
membuatnya semakin menggebu-gebu.
Ibu : “Wa’alaikumsalam, masuk nak. Lama sekali nak,
beli itu saja pun!!! (sambil mengambil pesanannya).
Malin : “Iya...maaf!! Bun, aku ingin merantau, mencari keuntungan
ditanah orang, tekadku sudah bulat Bun.”
Ibu : “Gimana ya? Yasudahlah kalau begitu, bunda
mengizinkanmu. Restuku menyertai mu nak !”
Malin : “Thank’s mom.”
Mendengar restu dari ibunya, ia langsung pergi menuju rumah Minah, kekasih
hatinya di desa.
Malin : “Minah... keluarlah ada yang ingin kusampaikan. Keluarlah !!”
Prolog : Minah gak ada, dia di belakang.
Malin : “Makasih... (Berlari menuju belakang)
Minah....” (Berjalan perlahan)
Minah : “Uda....” (Berjalan
perlahan)
Malin : “Kamu cantik deh.”
Minah : “Iiih..Uda gombal.” (Mencubit-cubit kecil)
Malin : “Kamu bisa aja.” (mendorong Minah)
Minah : “Uda.. sakit tau!! Ada apa Uda ?”
Malin : “Uda ingin merantau mencari kesuksesan.”
Minah : “Apa....???”
Malin : “Aku hanya pergi tuk sementara, bukan tuk meninggalkanmu
selamanya. Uda lakukan ini untuk masa depan kita.”
Minah : “Ya, aku izinkan kau Uda, kapan perginya Uda?”
Malin : “Besok.”
Izin dari ibu sudah di dapat, sang kekasih pun sudah tinggal menunggu nasib di
perantauan.
Ibu : “Tekadmu sudah bulat nak?”
Malin : “Iya Bun. Dah siap. Malin pergi dulu Bun. Minah titip bunda ya.”
Minah : “Iya Uda.”
Malin : “Assalamu’alaikum.”
Ibu & Minah : “Wa’alaikumsalam. Da....Horas...”
Malin pun pergi dengan tekad dan restu ibu di kampung. Satu per satu
didatanginya, lampiran-lampiran di masukinya. Nihil juga satupun mendapat
persetujuan, dalam kesusahan hati ia mengunjungi warkop di pinggiran kota. Ia
bertemu dengan seorang lelaki yang ternyata juga mencari pekerjaan.
Awak : “Kami membutuhkan pekerja di kapal, kau mau ?????”
Malin :“Ya deh, aku coba.”
Sang awak membawa malin menghadap saudagar kapal itu.
Saudagar : “ Kau yang ingin bekerja itu ?”
Dari mana asalmu ? Bagaimana keluargamu ?
Malin : “Iya Pak, saya dari Padang (Malin
berfikir sejenak). Saya seorang diri.”
Ningsih : “Ayah, ni minumannya.”
Ibu : “Ada apa ini
Ayah ?”
Saudagar : “Dia mau jadi awak, Bu.”
Ibu : “Oh.. siapa
namamu Nak ?”
Malin : “Malin Kundang, Bu.”
Ibu : “Terima saja
dia Pak !”
Saudagar : “Iya, kamu besok langsung kerja !
Prana ! Tunjukkan dimana kamar dan tugasnya !”
Prana : “Siap Bos !”
Hari berganti menjadi minggu, bulan berganti menjadi tahun. Pandangan pertama
kini menjadi bunga-bunga penghias di hati. Malin Kundang jatuh cinta kepada
Ningsih dan melupakan Minah kekasihnya.
Ningsih : “Ada apa Bang ?”
Malin : “Sejak aku melihatmu, aku
menyukaimu.” (Menyanyikan lagu Ku Pinang Kau dengan Bismillah).
Ningsih : (Jangan Memilih Aku : Anang & Syahrini)
Malin : “Aku serius, mau kah kau menjadi
pendamping hidupku ?”
Ningsih : “Mau ga ya ? Kasih tau ga ya ?
Iya, aku mau”
Malin mengingkari janjinya kepada Ibu dan kekasihnya di kampung. Di saat yang
bersamaan Prana mendapat tugas melihat-lihat kota Padang yang nantinya
digunakan untuk latar saham mereka. Prana pun pergi berlayar menuju kota
Padang, kampung halaman Malin. Ditengah waktu istirahatnya secara tak sengaja
Malin bertemu dengan Minah.
Minah : “Kamu dari mana ? Ada apa kamu kemari ?”
Prana : “Aku dari kota mau mencari lokasi
saham untuk ketuaku Malin”.
Minah : “Malin kau bilang ?”
Prana : “Iya, Kapten Malin Kundang
saudagar kaya dan terkenal itu.”
Minah : “Bundo ! (Memanggil Ibu Malin)
Bundo ! Pria ini mengenal uda ! Uda Malin, Bundo !”
Ibu : “Ah, yang benar
kau Minah ? Benar itu Nak ?”
Prana : “Iya Bu! Aku adalah anak buahnya.
Ibu dan wanita ini siapa Kapten?”
Ibu : “Kapten ? Dengar
itu Minah, anak lelakiku menjadi Kapten.
Ya Allah terimakasih !”
Minah : “Bisa kau bawa kami menemuinya Bang ?”
Prana : “Aku hanya dapat membawa satu
orang dari kalian.”
Minah : “Ibu saja yang pergi. Aku tinggal Bu.
Bukankah Ibu merindukan Uda Malin?”
Ibu : “Aku memang merindukannya,
aku ingin melihatnya. Tapi lebih baik kau yang nak. Aku mengikhlaskannya.”
Minah : “Baik Bu. Akan ku bawa Uda pulang. Demi ibu,
aku yang pergi. Kapan itu?”
Prana : “Besok, pukul 07.00 WIB pagi. Akan ku
tunggu kau di Pelabuhan.”
Minah pun menyiapkan barang bawaannya. Pagi datang dengan senyum indah, membawa
harapan baru untuk sebuah kebimbangan hati.
Minah : “Doakan Minah Bu.”
Ibu : “Iya anakku.”
Mereka menuju dermaga yang dijanjikan kemarin.
Prana : “Ayo naik!! Bu saya pamitan dulu.”
Ibu : “Iya, tolong jaga
anakku.”
Minah : “Bu, Minah pergi. Ibu baik-baik ya disini.
Dada Bu.”
Perjalanan panjang menjadi awal langkah Minah. Senyum harapan mewarnai wajahnya
menjadi awal kepedihan yang tak diketahuinya.
Prana : “Ayo Minah, pelan-pelan saja. Ini
kota.” (Berjalan menuruni kapal yang ditumpangi)
Minah : “Ini toh yang namanya kota. Elok nian ya Bang.
Bersyukur aku bisa kekota.” (Gaya orang kampung masuk kota)
Prana : “Iya..iya.. Kamu itu siapa Malin?”
(Berjalan menuju rumah)
Minah : “Aku sama Uda itu udah dekat banget.”
(Berjalan menuju rumah)
Prana : “Ohh, ayo udah sampai. Ini rumah
Malin.”
Minah : “Walah-walah cantiknya, besar pula itu. Bersih
lagi, kinclong kali ya.”
Prana : “Ayo masuk, aku cari Malin dulu.”
(Memasuki rumah)
Istri Saudagar : “Siapa ini? Apa yang kau bawa ini Prana?”
Prana : “Ini Minah dari Padang.”
Istri Saudagar : “Siapa namamu?”
Minah : “Minah Bu.”
Istri Saudagar : “Prana, bawa dia kekamar belakang. Aku tak mau melihatnya
disini.
Prana : “Baik Bu.”
Prana pun pergi menunjukkan jalan ke kamar. Sedangkan Istri Saudagar itu duduk
diruang tamu.
Saudagar : “Ada apa ini Bu?”
Istri Saudagar : “Ini, si Prana membawa temannya dari kampung.”
Saudagar : “Sudahlah Bu, biarkan saja. Lagian banyak kamar di belakang.”
Istri Saudagar : “Ih..terserah deh.” (Pergi meninggalkan ruang tamu)
Prana : “Maaf pak, saya ingin melaporkan
ekspedisi saya.”
Saudagar : “Bagaimana?”
Prana : “Lokasinya strategis,padat
penduduk dan transportasinya mudah pak.”
Saudagar : “Kerja bagus Prana.”
Prana : “Terima kasih pak. Maaf pak,
Kapten Malin dimana ya pak?”
Saudagar : “Pergi dengan Ningsih. Mungkin malam mereka baru kembali.”
Prana : “Okkeh deh. Terima kasih pak.”
Prana pun menyampaikan kabar itu dan menyuruh Minah untuk bermalam. Keesokkan
paginya Minah bangun dan keluar dari kamar menuju taman sungguh tak disangka
dia bertemu Malin.
Minah : “Uda..Uda.” (Menghampiri Malin)
Malin : “Minah, ngapain kau kemari?”
Minah : “Aku merindukanmu Uda, Ibu juga.”
Ningsih : “Ada apa ini, siapa wanita ini Bang?”
Malin : “A...ak...aku tak mengenalnya.”
Minah : “Uda.. (Mulai menangis). Aku Minah kekasihmu!!
Tak mungkin kau melupakanku. Impossible...”
Ningsih : “Kekasih? Aku istrinya. Siapa wanita ini Bang?”
Malin : “Sungguh, aku tak mengenalinya. Aku
berani bersumpah dek.”
Minah : “Tega, kau tega Uda. Tega....” (Berjalan
kebelakang perlahan)
Dengan hati yang tersakiti, ia pulang kekampung dan mengabarkan berita palsu
kepada Ibu Malin di kampung.
Minah : “Assalamualaikum Bu.”
Ibu : “Waalaikumsalam
Minah. Bagaimana keadaanmu? Bagaimana anakku Malin? Bagaimana rupanya sekarang?
Apakah dia baik-baik saja? Jawab Ibu Minah?”
Minah : “Hmph, iya Bu. Uda makin cakep, dia sehat Bu.
Rumahnya itu loh cantik kali Bu.”
Ibu : “Mengapa kau
pulang tak bersamanya?”
Minah : “Uda..Uda masih ada tugas Bu. Belum bisa
pulang sekrang.”
Ibu : “Padahal aku
sangat merindukannya.”
Minah : “Bersabarlah Bu. Sudah kusampaikan salam Ibu
kepada Uda.”
Siang berganti malam, hari berjalan sesuai dengan detakan jaru jam. Sebulan kemudia
kampung itu digemparkan dengan kedatangan kapak besar Malin, ialah pemilik
kapal itu.
Yunita : “Mak, ayo ikut. Malin pulang.”
Minah : “Uda Malin, dimana?”
Yunita : “Dermaga, di Dermaga. Ayo Mak.”
Ibu : “Malin, Malin
putraku? Ya Allah nak, kau pulang juga.”
Mereka berlari menuju dermaga. Kapal indah nan megah terdampar di tanah Minang.
Malin dan keluarganya turun menyapa penduduk.
Ibu : “Malin, kau sudah
besar nak, kau berubah nak. Ingat!! Aku Ibumu yang melahirkanmu.” (Menghampiri
Malin)
Istri Saudagar : “Siapa wanita lesu ini Malin, Ibumu? Bukankah kau bilang kau
sudah tak punya ibu dan keluarga?”
Ibu : “Apa? Aku Ibumu
nak, yang membesarkanmu.”
Malin : “Bukan. Tidak. Kau bukan ibuku. Ibuku
sudah lama meninggal.” (Menolak)
Minah : “Uda, kau boleh melupakanku, melupakan
kenangan kita. Aku ikhlas Uda, aku ikhlas. Tapi jangan ibu, wanita yang sudah
melahirkanmu.” (Menolong)
Malin : “Diam kau!! Dia bukan ibuku. Ibuku sudah
lama meninggal.”
Ibu : “Aku ibumu Malin.
Aku yang melahirkanmu nak. Aku yang membesarkan kau anakku teganya kau lakukan
itu padaku.”
Ningsih : “Akui saja dia Bang. Dia ibumu bukan?
Malin : “Tidak-tidak. Dia bukan ibuku.”
Ibu : “Malin...”
Saudagar : “Ayo naik. Kita berlayar, tarik jangkar dan kembangkan layar Prana.”
Prana : “Baik Pak.”
Malin : “Ayo kita pulang Ningsih.”
Ibu : “Malin (Memegang
kaki Malin). Jangan pergi nak, jangan tinggalkan ibumu lagi nak.
Malin : “Pergi kau. Ayo Ningsih.”
Minah : “Uda..kau kejam Uda.”
Seketika itu awan menjadi mendung. Petir menyambar dan ombak-ombak mengamuk dan
menyaut tangis ibu Malin Kundang.
Ibu : “Ya Allah ya
Tuhanku. Hatiku sakit ya Allah.
Anak yang kubesarkan dengan penuh kasih sayang,
kini dia mencampakkanku dan tak mau mengakui ku sebagai
ibunya.
Hukumlah dia ya Allah. Hukumlah dia.
Maliiiiiiiiiiinn....
Ekspectro patronoum, Aspergilus wenti, Lactobacillus bugaricus...
Prana : “Kapten...Badai datang.”
Istri saudagar : “Ada apa ini Ayah?”
Saudagar : “Aku juga tak tau Bu.”
Ningsih : “Benarkah dia ibumu Kanda? Jawab aku.”
Prana : “Tali layar putus pak. Ombak tak
terkendali.”
Ningsih : “Jawab aku Kanda.”
Malin : “Ampun ibu. Maafkan aku. Maafkan aku
Bu.”
Ibu : “Rasakan
pembalasan dariku.”
Malin : “Ampuuuuuuuuuuun Buuu...!!!” (Jadi BATU)
Itulah cerita kepercayaan rakyat Minang.
Malin Kundang anak durhaka.